Sunday, July 17, 2011

Coldplay - In My Place (Lirik Lagu Konspiratif)

In my place, in my place
Were lines that I couldn't change
I was lost, oh yeah

I was lost, I was lost
Crossed lines I shouldn't have crossed
I was lost, oh yeah

Yeah, how long must you wait for it?
Yeah, how must long you pay for it?
Yeah, how long must you wait for it?

I was scared, I was scared
Tired and underprepared
But I wait for you

If you go, if you go
Leaving me here on my own
Well I wait for you

Yeah, how long must you wait for it?
Yeah, how must you pay for it?
Yeah, how long must you wait for it?

Please, please, please
Come on and sing to me
To me, me

Come on and sing it out, out, out
Come on and sing it now, now, now
Come on and sing it

In my place, in my place
Were lines that I couldn't change
I was lost, oh yeah
Oh yeah


__________________________________________

lagu ini memang sudah tak baru lagi, mungkin mempostingnya pada blog yang sepi ini merupakan tindakan menggelikan.
Namun memang penulis artikel ini konyol; setelah 6 tahun mendengar lagu ini, baru mengira-ngira maksudnya.

bila didengarkan sekilas, pendengar yang bukan merupakan penutur bahasa yang digunakan dalam lagu ini mungkin sekali menganggap lagu ini bertema percintaan, penantian ataupun kerinduan pada seseorang. Namun bila di simak dengan seksama, lirik lagu ini sedikit membingungkan.

in my place, dimanakah sebenarnya tempatnya (penulis lirik/penyanyi/Chris Martin) berada? mungkin saja sebuah perumpamaan, merupakan sebuah tempat dimana garis dan dia tak berubah, namun membuatnya kehilangan arah.

Yeah, how long must you wait for it?
Yeah, how must you pay for it?
Yeah, how long must you wait for it? ---- apa artinya itu? apa yang ditunggu orang kedua dalam lagu ini?

intinya:
sebuah tempat dimana sebuah peraturan tak berubah, menunggu "itu" untuk datang.
yah, dengan pikiran penuh prasangka anda bisa menafsirkannya kan?

Friday, July 15, 2011

Coldplay - Major Minus (lirik lagu konspiratif)

They got one eye on what you knew
And one eye on what you do
So be careful who it is you're talking to

They got one eye on what you knew
And one eye on what you do
So be careful what it is you're trying to do

And be careful when you're walking in the view
Just be careful when you're walking in the view!

Ooh-oooh-oooh
Ooh-oooh-oooh-ooh
Got one eye on the road and one on you!

Ooh-oooh-oooh
Ooh-oooh-oooh-ooh
Got one eye on the road and one on

They got one eye on what you knew
And one eye on what you do
So be careful 'cause nothing they say is true

But they don't believe a word
It's just us against the world
And we just gotta turn up to be heard

Hear those crocodiles ticking 'round the world
Hear those crocodiles ticking (they go) ticking 'round the world

Ooh-oooh-oooh
Ooh-oooh-oooh-ooh
Got one eye on the road and one on you!

Ooh-oooh-oooh
Ooh-oooh-oooh-ooh
Got one eye on the road.

She can't hear them climbing the stairs
I got my right side fighting
While my left eye's on the chairs

Ooh-oooh-oooh
Ooh-oooh-oooh-ooh
Got one eye on the road and one on you!

Ooh-oooh-oooh
Ooh-oooh-oooh-ooh
Got one eye on the road and one on you


________________________________________________________________________

can you see the message in this song?

Monday, July 4, 2011

Konspirasi Kota Berdebu

Adalah sebuah kota megah di kaki pulau
pantainya membuat kapal-kapal terpukau
ramainya membuat burung tak berkicau
betonpun menggantikan pohon bakau

pejalan kaki tersenyum kepada mobil
mobil mewah milik pak lurah
tak berhenti mobil itu, tak butuh dan tak ingin berhenti.

mobil-mobil mewah seperti itu terus berkembang biak,
bertambah banyak seperti ibu yang tak berhenti beranak,
apa ada orang di kota ini yang sadar bahwa dunia tak bergerak?
atau dimanakah semua ini akan tertata dan terletak?

tentu dia yang berpikir
tetangga belakang rumah,
orang yang tak kikir
senyumnya sangat murah

pikirnya:
kota ini melaju tanpa batas
semua yang tak modern perlu diberantas
mulai dari pasar yang menjual beras
hingga tanah lapang yang menjadi teras

bakar saja semua, bakar,
demi kebaikan kota

Friday, April 29, 2011

MENYIHIR TIMAH MANJADI EMAS

Menyihir timah menjadi emas itu mustahil? Mungkin itu terjadi seribu tahun lalu, ketika emas dan perak menjadi mata uang berdasarkan unsur intrinsiknya. Bukankah sekarang  fungsi emas dan perak sebagai mata uang telah digantikan mata uang kertas yang bernilai sama atau lebih tinggi nilainya hanya karena dilabeli oleh bank sebagai tanda nilai mata uang atau dikenal sebagai unsur ekstrinsik sehingga tambang-tambang emas di negara ini dan banyak negara berkembang lain rela menukarkan emasnya hanya dengan lembaran kertas? Apakah penukaran emas dengan kertas itu tidak cukup membuktikan bahwa menyihir timah menjadi emas itu memang benar-benar sudah berhasil dilakukan?

Thursday, April 28, 2011

TUJUAN MENUNTUT ILMU??!!

Semakin banyak mahasiswa yang memperoleh gelar sarjana di bidang Ekonomi, semakin banyak jumlah penduduk di negara ini yang miskin.

Semakin banyak mahasiswa yang memperoleh gelar sarjana di bidang Hukum, semakin leluasalah ruang gerak koruptor di negara ini.

Semakin banyak mahasiswa yang memperoleh gelar Sarjana di bidang Teknik, semakin banyak pula teknologi asing yang kita beli.

Semakin banyak mahasiswa yang memperoleh gelar Sarjana di bidang Sains, semakin banyak kota dan desa-desa yang banjir atau kekeringan.

Semakin banyak mahasiswa yang memperoleh gelar Sarjana di bidang Kesehatan, semakin bertambah pula angka kematian karena gizi buruk.

Semakin banyak mahasiswa yang memperoleh gelar Sarjana di bidang Agama dan semakin banyak orang yang tamat membaca kitab sucinya, semakin banyak juga orang yang melakukan fitnah dan pembunuhan atas nama agama.

Semakin banyak mahasiswa yang memperoleh gelar Sarjana di bidang Politik, semakin tidak jelas arah dan tujuan negara ini.

Semakin banyak ilmu yang dipelajari di universitas atau di perpustakaan, semakin bodohlah orang-orang di luar sana. 

Apa yang menyebabkan semua itu? Jika ilmu pengetahuan tidak bisa menciptakan “karya seni” yang dapat menyederhanakan masalah manusia yang rumit, untuk apa ia masih tetap dipelajari?

Atau mungkin pertanyaannya bukan demikian, melainkan:
Sudahkah manusia memahami hakikat dan tujuan ilmu yang telah dipelajarinya?

Atau mungkin seperti ini: Apa sebenarnya tujuan manusia sekarang mempelajari ilmu pengetahuan, apakah karena uang, kekuasaan, perempuan, atau benar-benar tulus untuk menciptakan suatu karya yang berguna bagi manusia?

Hanya diri kita sendirilah yang bisa menjawab pertanyaan itu, karena sebenarnya kita tahu mana perbuatan yang diinginkan Tuhan dan mana yang tidak diinginkan Tuhan, karena pada dasarnya kita semua berpikir.

“Saya berpikir jadi saya ada” (Rene Descartes)

KEBIJAKSANAAN YANG TERKUBUR

Entah legenda itu benar atau tidak, Kusanagi tetap menjadi legenda walaupun kini kita tidak bisa melihat dan merasakan ketajaman pedang itu.

Entah diakui atau tidak, kini kita hanya mengenal sistem pemerintahan (hampir) sempurna hanya sebagai sebuah utopia.

Walau begitu sejarah telah mencatat bagaimana sistem tersebut diciptakan dan diterapkan sehingga apabila dibandingkan, orang dari masa itu akan terheran-heran karena kita justru memilih sistem yang jauh lebih rentan terhadap kudeta diam-diam dan korup terang-terangan

Friday, April 22, 2011

PEJABAT DAN UANG

Pernahkah mereka, para pejabat, bertanya pada diri mereka sendiri sebelum mengeluh ketika rakyatnya berbuat sesuatu yang menyinggung perasaan pejabat, “Mengapa diantara rakyatku ada yang berdemonstrasi menentangku? Mengapa ada suatu wilayah di negeri ini yang ingin membebaskan diri dari kekuasaanku? Apakah aku telah berbuat kesalahan sehingga mereka berbuat demikian? Jika benar, kesalahan apa yang telah ku perbuat sehingga mereka marah kepadaku?”

Andai saja para pejabat di negeri ini bertanya demikian pada diri mereka sendiri, mungkin mereka akan segera menemukan jawaban tersebut dengan sangat mudah—hanya dengan keluar dari kantor yang lebih mirip istana itu dan melihat kondisi rakyat yang sesungguhnya: “Ternyata, mereka marah karena aku begitu mencintai uang—karena mereka mau dan mampu merasakan jurang pemisah yang dalam antara si Kaya dan si Miskin di negeriku, sehingga seringkali dari golongan yang kaya itu tidak tahu bagaiman cara menghabiskan kekayaannya, di satu sisi ada golongan miskin yang tidak tahu bagaimana harus mencari uang untuk hidup sehingga mereka rela mencuri sesuatu dari orang lain untuk ditukarkan dengan uang yang sekarang menjelma seperti Dewa!! Jad ternyatai mereka berbuat seperti itu karena aku sangat mencintai uang!!

Ah, saya rasa itu tindakan seorang pemimpin yang bijaksana, yang masih mempunyai hati nurani, yang tidak dibutakan matanya oleh ketamakan. Apa mungkin, pejabat di negeriku mau memikirkan hal seperti itu??

Jika Anda sendiri (para pejabat) tidak mencintai uang, maka rakyat tidak akan pernah mencuri, sekalipun Anda memberi hadiah atau ganjaran kepada pencuri”  (Confucius)

AKUISISI

AMD memang pantas mengakuisisi ATi, sama seperti akuisisi Google terhadap Android. Begitu juga yang dilakukan Adobe terhadap Macromedia. Mereka berhasil menciptakan karya seni yang hebat dari “penyatuan” itu.

Lalu, dapatkah akuisisi seperti itu dilakukan oleh pihak yang lebih lemah? Sudah bisa dipastikan, hal itu mustahil dilakukan. Hal itu sama seperti penaklukan sebuah benteng. Dengan kekuatan militer maupun posisi tawar yang lemah dari pihak musuh, apakah Konstantinopel mau menyerahkan diri? Tentu saja tidak!

Tapi apakah “penyatuan” manusia harus seperti itu?

Bagaimana dengan cinta yang definisinya begitu beragam sehingga batas antara cinta dan tamak seringkali menjadi sangat kabur?

Ah, rasanya tetap saja akan lebih baik jika akuisisi dilakukan oleh pihak yang lebih kuat. Atau bagi yang tidak punya malu, mungkin akan berusaha mengaburkan definisi cinta. Bukankah, “kita tidak akan pernah bisa memberi sebelum kita memilikinya”? 

Saturday, April 16, 2011

TUHAN, SURGA, DAN NERAKA

Rasanya sangat tidak adil jika kita terlalu sering bermalas-malasan dan bersenang senang, sementara di luar sana banyak sekali orang yang sampai masa tuanya masih tidak bisa merasakan kebahagiaan. Ditambah lagi dengan adanya kriteria penghuni Surga dan Neraka. Kalau begitu kapan mereka bisa merasakan kebahagiaan?? Benarkah Tuhan mengizinkan jiwa orang yang beramal tanpa ilmu dan beribadah hanya untuk dirinya sendiri masuk ke Surga??

Rasanya sangat tidak adil jika Tuhan membiarkan orang yang ketika di Dunia terlahir diantara jeruji kebingungan, lalu ketika mati, jiwanya akan dikurung diantara api neraka, sementara orang yang mempercayai keberadaan Tuhan tapi tidak peduli terhadap orang yang tidak beruntung diizinkan menikmati sendiri keindahan surga. Benarkah Tuhan mengizinkan jiwa orang yang beramal tanpa ilmu dan beribadah hanya untuk dirinya sendiri masuk ke Surga??

Barang siapa tidak peduli terhadap perkara Muslim, maka (dia) tidak termasuk ke dalam golongan mereka (Kaum Muslimin)” (H.R. Thabrani)

MASA LAMPAU VS MASA KINI: Perbedaan Tingkat Kreativitas Lokal Dalam Menerima Gagasan Dari Luar

Istilah globalisasi tentu sudah tidak asing lagi bagi kita. Secara sederhana, istilah globalisasi mengacu pada pengertian bahwa batas-batas antara negara satu dengan negara lain seakan menjadi tidak ada lagi seiring semakin canggihnya alat-alat komunikasi, informasi, transportasi, maupun produksi. Walaupun pada awalnya istilah globalisasi ini pertama kali digunakan oleh Theodore Levitt tahun 1985 untuk merujuk pada bidang politik-ekonomi, khususnya politik perdagangan bebas dan transaksi keuangan, namun sekarang kita bisa merasakan dampak globalisasi secara lebih luas. Beberapa unsur budaya seperti sistem pengetahuan, sistem teknologi, dan seni juga tak luput dari pengaruh globalisasi. Contoh sederhananya, sekarang ini kita bisa melihat orang-orang yang tinggal di daerah beriklim tropis maupun dingin memakai setelan kemeja dan dasi sebagai pakaian formalnya, memotong rambut dengan gaya Mohawk, Punk, Spike sampai gaya rambut Korea, memakai celana Jeans, sepatu high heels, makan dengan menggunakan sendok dan garpu, makan Pizza, Burger, minum Cola-Cola, Fanta, sampai Pepsi. Namun, pengaruh globalisasi yang sesungguhnya dapat kita lihat dari sebagian besar masyarakat di dunia yang sekarang ini sedang fokus dalam memberi reaksi pro-kontranya mengenai konflik di Libya—gagasan-gagasan dalam hitungan menit tersebar ke berbagai penjuru dunia melalui kecanggihan komunikasi dan informasi.

Dari sudut pandang perkembangan kebudayaan, globalisasi—yang pertama dikenalkan oleh Theodore Levitt—merupakan istilah baru yang merupakan salah satu bagian dari sarana difusi yang mempercepat persebaran gagasan-gagasan ke penjuru dunia. Difusi, atau dalam bahasa Inggris Diffusion adalah penyebaran ide-ide atau gagasan dari suatu tempat ke tampat lain. Prinsip dasar teori difusi adalah bahwa suatu penemuan/inovasi, gagasan-gagasan, dan unsur-unsur kebudayaan di dunia ini muncul dari satu tempat tertentu, kemudian gagasan-gagasan atau ide-ide dari tempat munculnya peradaban tersebut menyebar ke berbagai tempat di dunia. Jadi, sejak adanya kontak  antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain kemudian salah satu budaya itu menerima gagasan-gagasan dari kebudayaan lainnya, dapat dikatakan telah terjadi difusi. Atau dengan kata lain, hal itu sebenarnya sudah lama sekali terjadi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap bangsa—dalam perkembangan unsur-unsur kebudayaannya—pasti pernah menerima gagasan-gagasan dari luar. Bahkan suatu bangsa yang sudah mempunyai salah satu unsur budaya lokalnya sendiri pun banyak yang tidak berdaya dalam menolak gagasan-gagasan dari luar karena adanya beberapa kepentingan atau tekanan—baik yang berasal dari luar maupun dari dalam—sehingga gagasan dari luar seringkali bercampur dengan budaya lokal dan memunculkan ciri budaya baru yang khas, seperti Islam Jawa, Kristen Jawa, penanggalan Jawa, konsep Gunung-Candi, tradisi Sekaten, sampai gaya bangunan Indis. Atau akibat yang lebih ekstrim lagi ialah menggantikan sama sekali gagasan yang sudah mapan dengan gagasan-gagasan baru dari luar, misalnya digantikannya agama resmi suatu negara/kerajaan dengan agama baru, sistem pengetahuan global tentang astronomi yang awalnya menganggap bumi sebagai pusat alam semesta berubah menjadi pengetahuan baru bahwa matahari sebagai pusat tatasurya, atau sistem monarki absolut digantikan oleh monarki konstitusional, seperti yang kini dianut oleh seluruh negara-bangsa di dunia. Jika sekarang kita sedang dalam proses membaca atau membuat tulisan dalam huruf latin, maka suka atau tidak, kita telah menerima gagasan dari luar.
Sesungguhnya, penerimaan secara total atau sebagian besar gagasan-gagasan dari luar tersebut tidak menjadi masalah ketika gagasan-gagasan di dalam yang sudah mapan memang salah, dianggap salah, atau diyakini tidak sesuai dengan kondisi sosial-lingkungan manusia di suatu tempat tertentu. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa suatu bangsa menerima gagasan tersebut tanpa pikir panjang, bahkan yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan dan sosial bangsanya pun diterima, maka apakah masih ada alasan lagi untuk mengelak ketika ada tuduhan bahwa bangsa tersebut merupakan bangsa yang hidup tanpa kreativitas budaya lokal sama sekali? Jawaban setiap individu mungkin akan bervariasi, tergantung dari sudut pandang yang digunakannya.
Sekarang bangsa kita dapat dikatakan sudah mendekati atau bahkan sedang mengalami krisis perkembangan kebudayaan. Hal dapat kita lihat dari ketidakmampuan bangsa kita berkreasi dalam berbagai aspek kebudayaan. Seperti kita ketahui, selama ini telah diakui oleh para ahli bahwa terdapat 7 unsur kebudayaan universal, yaitu bahasa, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, organisasi sosial, religi, dan seni. Dari ketujuh unsur budaya tersebut, bagian mana yang kita kembangkan dari kreativitas kita sendiri? Bahasa, organisasi sosial dan religi tentu saja iya. Bahasa Indonesia merupakan kreativitas hebat bangsa kita dan muncul sejak diikrarkan sumpah pemuda II pada 28 Oktober 1928. Organisasi sosial dahulu juga mempunyai dasar yang hebat, yang diatur dalam Pancasila. Tentu, Pancasila sebagai sebuah ideologi mengatur setiap organisasi sosial kita, dari yang paling besar sampai yang paling kecil. Mengenai religi, hal ini tidak perlu dipertentangkan lagi, terdapat beberapa penyesuaian dengan religi asli kita.
Itu dulu. Sudah puluhan tahun lalu, ketika para pendiri bangsa kita yang hebat berniat memberikan warisan kepada kita sebuah negara-bangsa yang berdaulat dengan dasar-dasar negara yang hebat pula. Jadi itu semua karya mereka. Sekarang? Sekarang kita hanya bisa memakai hasil kreativitas luar, yang artinya hanya bisa menerima gagasan-gagasan dari luar. Bahkan seringkali yang kita terima adalah hal-hal yang justru merugikan kita. Sudah dikatakan sebelumnya bahwa penyerapan gagasan-gagasan dari luar tersebut tidak menjadi masalah asalkan kita tetap berkreativitas dan tidak terlalu pasif. Yang tidak bisa diterima ialah menerima gagasan-gagasan dari luar tanpa melakukan seleksi terlebih dulu, mana yang perlu, mana yang tidak perlu diadopsi.
Sekarang, bisa kita rasakan bagaimana Ideologi bangsa kita—Pancasila—tidak diterapkan dalam kehidupan bernegara. Bahkan sekarang, entah dengan sengaja atau tidak, bangsa kita sudah melupakan ideologi kita itu, dasar negara kita. Lihat saja, sekolah-sekolah dasar sampai tingkat menengah-atas di negeri kita sudah tidak mengajarkan PMP atau PPKN, justru menggantinya dengan PKN—dengan meniadakan satu singkatan huruf “P”, yang berarti Pancasila. Sepertinya hal itu sejalan dengan tergantikannya Demokrasi Pancasila dan Ekonomi pancasila oleh Demokrasi dan Ekonomi Liberal. Belum lagi mengenai masalah sistem teknologi maupun pengetahuan. Kita hanya bisa menjadi pengguna fanatik Communicator Nokia, sampai-sampai sejumlah masyarakat kita rela membelinya dengan harga sangat tinggi hanya untuk mendapat barang itu lebih awal saat pre-launching resminya. Begitu juga mengenai demam Black Berry yang booming hanya karena dipakai Obama. Seni kita pun demikian. Walau pengertian seni sendiri cukup rumit, tapi anggaplah gaya berpakaian merupakan bagian paling sederhana dari seni, dan anggaplah karya-karya dalam bidang pengetahuan dan teknologi juga merupakan bagian dari karya seni. Bisa kita lihat bagaimana masyarakat kita sangat senang meniru gaya berpakaian orang-orang luar, walau tidak cocok dengan kondisi lingkungan di Indonesia, seperti penggunaan kemeja plus dasi sebagai pakaian formal atau pakaian sehari-harinya yang selalu mengikuti tren. Karya-karya seni sebagai sarana mempertahankan negara pun juga hampir tidak ada, seperti ketidakmampuan dalam membuat peralatan pertahanan seperti kapal, pesawat, atau menciptakan senjata-senjata yang dibuat tanpa membeli lisensi untuk teknologi senjata dari luar.
Lihatlah pada masa lampau, ketika leluhur kita menerima gagasan-gagasan dari peradaban lain pada masa Hindu-Buddha dan Islam. Bisa dikatakan mereka cukup aktif, selektif, dan kreatif. Kita bisa melihat bukti-bukti tersebut melalui peninggalan-peninggalan (budaya) bendawi mereka, seperti candi, masjid, dan tidak sedikit gaya bangunan gereja yang  dipadukan dengan unsur-unsur lokal. Juga bisa kita dari perkembangan tulisan dan bahasanya sebagaimana dapat kita lihat dan rasakan sekarang.
Kita akui bahwa pada masa Hindu-Buddha dan Islam itu, berbagai kerajaan di Nusantara banyak sekali menyerap unsur-unsur budaya India dan Arab, seperti religi, pengetahuan, maupun seni. Ketika leluhur kita menyerap sistem religi dari India, mereka tidak begitu saja melupakan sistem religi/kepercayaan asli mereka. Hal itu terbukti dari peninggalan monumental pemujaan mereka yang sering disebut candi. Candi merupakan tempat pemujaan bagi agama Hindu maupun Buddha, sedangkan gunung merupakan tempat bersemayam roh-roh leluhur menurut kepercayaan asli bangsa Indonesia. Kita dapat menjumpai campuran atau akulturasi dari kedua unsur kepercayaan tadi di tempat-tempat pemujaan leluhur kita pada masa Hindu-Buddha, yaitu candi yang dibangun di lereng-lereng gunung yang tinggi, seperti Komplek Candi Gedong Songo, Komplek Candi Dieng, Candi Sukuh, dan Candi Ceto. Atau di tempat pegunungan atau dunung yang tidak terlalu tinggi seperti Candi Ijo, Ratu Boko, Barong, atau Candi Ngawen. Bahkan ketika menyerap unsur-unsur budaya Islam, mereka juga tidak serta-merta melupakan unsur-unsur asli dari masa prasejarah maupun Hindu-Buddha. Ahli kebudayaan banyak yang mengakui bahwa ketika Islam masuk ke Jawa, yang terjadi adalah Jawanisasi Islam. Juga bisa kita lihat dari bentuk Nisan di makam-makam Islam di Nusantara yang mirip dengan unsur Hindu, baik bentuk maupun hiasan-hiasannya. Perkembangan bahasa dan sistem pengetahuan pun juga tidak kalah kreatif. Orang Aceh tetap menggunakan bahasa Aceh, begitu juga Sunda, Minang, Jawa, Nias, Dayak, Bugis. Mereka mengembangkan sendiri bahasa mereka sehingga kita mengenal bahasa mereka seperti sekarang ini. Demikian juga dengan hukum-hukum adatnya.
Dari beberapa contoh sederhana itu, kita bisa melihat begitu besarnya perbedaan tingkat kreativitas lokal bangsa Indonesia dalam menerima gagasan dari luar, antara masa kini dan masa lampau. Kita bisa melihat bahwa semakin jauh ke depan, tingkat kreativitas kita semakin berkurang, jauh sekali berkurang. Ketika leluhur kita secara aktif mencari pengetahuan luar dalam upaya mengembangkan kebudayaannya, mereka menyeleksi gagasan-gagasan mana yang perlu, yang pada akhirnya diadopsi dengan beberapa “penyesuaian” dengan kondisi sosial, budaya, dan lingkungannya. Apakah penurunan kreativitas itu akibat dari globalisasi? Atau terjadi sejak semangat kolinialisasi Eropa ke seluruh dunia? Keduanya memang sangat berpegaruh, tapi mulai sekarang, kita bisa merubah sikap kita dalam menghadapi pengaruh Globalisasi yang begitu besar terhadap masuknya gagasan-gagasan dari luar. Hal itu bisa dilakukan dengan bersama-sama bercermin ke masa lalu melihat kearifan leluhur kita dalam menyerap gagasan-gagasan dari luar untuk membangkitkan lagi kreativitas bangsa kita seperti dulu.
Difusi memang tidak bisa ditolak keberadaannya, namun dalam menerima gagasan-gagasan tersebut haruslah dipertimbangkan akibat-akibat yang mungkin terjadi jika gagasan itu diadopsi. Dengan kata lain kita harus bisa memilih gagasan-gagasan mana saja yang perlu diadopsi dan mana yang tidak perlu. Masalah-masalah seperti itu—jika kita mau bercermin ke masa lalu—sebenarnya juga dialami oleh leluhur kita yang dapat kita ketahui berdasarkan peninggalan-peninggalan mereka, baik yang terlihat (tangible) maupun yang tak terlihat (intangible). Masalah kita sekarang ialah telah melupakan sejarah bangsanya sendiri, bukankah ada ungkapan, “Bangsa yang lupa sejarah tidak beda dengan manusia yang lupa ingatan”?

Thursday, February 3, 2011

MENCOBA LINUX

Apakah Anda merasa jengkel karena system operasi Windows yang Anda gunakan sering terserang virus? Atau Anda adalah seorang yang tidak ingin membajak software namun dana yang Anda miliki pas-pasan untuk membeli system operasi berbayar karena sering melakukan re-install system operasi? Atau Anda tidak suka bergantung kepada suatu merk/produk tertentu dan ingin mencoba system operasi lain? Atau mungkin Anda ingin mengenalkan system operasi bebas untuk putra/putrinya? Ada pilihan tepat untuk Anda, yaitu menggunakan system operasi Linux. Selain gratis, system operasi ini juga mudah digunakan, nyaman dipandang, banyak pilihan (versi), bahkan banyak komunitas atau furum-forum tanya jawab. Kalau ada yang gratis, mengapa repot-repot mengeluarkan uang? Lagi pula, sudah bukan jamannya lagi Linux susah digunakan, Anda bisa membuktikannya sendiri!

Sekarang terdapat banyak sekali distro dan versi Linux, Seperti:  Debian, Open SuSe, Fedora, Slackware, Mandriva, Red Hat, Knoppix, Xandros, DSL, Sabily [1], Ubuntu, Linux Mint, dan sebagainya. Indonesia juga memiliki distro linux sendiri seperti Blankon, IGOS, UGOS, WinBI, Rose, LinuxSehat, dan masih banyak lagi. Namun yang kini sedang popular di dunia per-linux-an adalah Linux ‘Ubuntu’. Ya, system operasi dengan logo lingkaran terbagi tiga berwarna oranye ini memang sedang naik daun. Ubuntu merupakan ‘turunan’ dari Debian yang juga merupakan versi linux yang berumur cukup tua sehingga banyak  terdapat aplikasi-aplikasi yang kompatibel terhadapnya, lebih lagi terdapat juga forum-forum yang bisa membantu Anda memecahkan masalah dalam memakai system operasi ini. Ubuntu sendiri juga memiliki beberapa versi seperti UNR (Ubuntu Netbook Remix) yaitu versi yang dikhususkan bagi pengguna netbook, Kubuntu yaitu versi KDE dari Ubuntu yang menggunakan gnome sehingga tampilan Kubuntu sangat indah, dan Edubuntu yang berisi paket-paket aplikasi pembelajaran.
Tapi, bagi seorang pemula yang memang sama sekali belum mengetahui seluk-beluk linux secara rinci seperti saya, alangkah baiknya Anda mencoba Linux Mint. System operasi ini sangat mirip dengan tampilan Windows. Lebih jauh lagi, paket aplikasi bawaan Linux Mint ini bisa dibilang sangat lengkap. Jadi Anda sudah bisa memainkan file multimedia (musik, film, video, gambar) atau file office (PDF, txt, sampai Docx). Inilah yang membedakannya dengan Ubuntu. Di Ubuntu, Anda tidak bisa memutar file *mp3, karena tidak disertakan codec untuk memutar mp3 dengan alasaan lisensi. Format lagu MP3 (MPEG-1/2 audio layer 3) dan film VCD/DVD (MPEG-2) tidak didukung Ubuntu, karena format-format itu diproteksi secara hukum (paten software) oleh penemu atau pengembangnya. MP3 adalah format proprietary (Rusmanto Maryanto).
Yang akan dibahas pada tulisan kali ini adalah cara menginstal linux pada system operasi Windows (dual boot). Hal ini dilakukan karena selain diperuntukkan bagi orang yang hanya ingin mencoba Linux, juga karena cara penginstalan ini sama sekali tidak mengganggu data-data di dalam harddisk Anda. Saat computer Anda pertama kali booting (dihidupkan), Anda akan dihadapkan pada dua pilihan system operasi, yakni ‘Windows’ dan ‘Linux Mint’. Jika nantinnya Anda memang merasa cocok dengan system operasi ini, Anda tidak perlu memasang 2 system operasi (dual boot) di PC/Laptop Anda, begitu pula sebaliknya.
Sekarang langsung saja pada cara menginstalnya
1.      Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mendapatkan file *iso nya. Anda dapat mendownloadnya sendiri dari internet, meminta bantuan teman Anda yang punya akses internet mumpuni untuk mendownloadkannya, atau meminta dari teman Anda yang sudah punya  langsung melalui eksternal storage. Jika ingin download sendiri, silakan kunjungi: http://www.linuxmint.com/index.php atau http://www.linuxmint.com/edition.php?id=67. Pilih lokasi server terdekat dengan Indonesia.

2.      Setelah memiliki file *iso nya, Anda tinggal membuka file yang bernama ‘linuxmint-10-gnome-cd-i386.iso’ dengan menggunakan aplikasi kompresi file seperti 7Zip, WinRar, Winzip, atau IZArc. Lihat Gambar di bawah:

3.      Setelah dibuka, kemudian ekstrak file ‘mint4win.exe’, dengan cara drag-drop ke bagian luar. Lihat Gambar di bawah: 

4.      Setelah berhasil, jalankan file ‘mint4win.exe’, kemudian akan muncul jendela yang berisi formulir pengisian akun baru untuk Linux Mint. Mungkin yang perlu diganti hanya nama, bahasa, dan installation size. Perlu diingat bahwa untuk mendapat performa yang bagus, system ini membutuhkan paling tidak 10GB. Anda bisa menginstallnya di C (default), atau membuat partisi baru khusus untuk linux. Baik di install di dive C, atau di mana saja, hal ini tidak akan menghapus atau mengganggu data Anda. Setelah puas dengan nama, kapasitas harddisk dan sebagainya, klik install. Lihat Gambar di bawah: 



5.      Setelah Anda klik install, akan muncul jendela:




6.      Kemudian setelah selesai, Anda akan dihadapkan pada 2 pilihan, pilih restart sekarang untuk melakukan reset. Kemudian setelah restrart, pada saat booting Anda akan disediakan 2 pilihan  system operasi, yakni ‘Windows’ dan ‘Linux Mint’. Pilih ‘Linux Mint’ untuk melanjutkan tahap instalasi selanjutnya.

Selamat menikmati system operasi baru, sebuah system operasi yang dibuat oleh orang-orang baik, orang orang yang mendukung kemerdekaan dan kebebasan berekspresi (bertanggung jawab)…..

Catatan kaki
[1] Distro Sabily bukanlah sebuah distro linux yang menggambarkan keeksotisan seseorang perempuan, sehingga di dalamnya tidak terdapat paket-paket aplikasi dan wallpaper perempuan yang dimaksud. Sabily merupakan distro linux khusus bagi umat Muslim yang juga merupakan turunan dari Ubuntu. Pemberian nama eksotis terhadap perempuan yang bersangkutan juga merupakan istilah yang saya ambil dari teman saya, tapi saya juga setuju dengan pendapatnya…..

NASIONALISME PALSU

         Istilah nasionalisme tentu sudah tidak asing lagi bagi masyarakat kita. Istilah tersebut seringkali kita dengar terutama ketika menjelang peringatan hari pahlawan atau kemerdekaan Indonesia. Atau ketika ada pertandingan sepakbola yang melibatkan timnas Indonesia. Bahkan banyak diantara masyarakat kita tidak mau jika mereka disebut tidak nasionalis. Secara sederhana dan seperti telah kita diketahui bersama, istilah nasionalisme berarti semangat untuk mencintai bangsa dan Negara sendiri.
       Lalu pertanyaannya, apakah sebagian besar rakyat Indonesia (terutama sekali pejabat Negara  dan mahasiswa) sudah mencintai negaranya? Kalau benar, lalu mengapa setelah merdeka selama lebih dari 65 tahun bangsa ini masih menjadi bangsa yang masih ‘berkembang’, masih banyak rakyat yang miskin, mati kelaparan, dan tidak memiliki pekerjaan? Pada dasarnya, tingginya semangat nasionalisme penguasa tercermin dari tingkat kesejahteraan rakyatnya. Sehingga kita bisa melihat apakah sebagian besar masyarakat kita (penguasa dan kalangan terpelajar) sudah memahami dan menerapkan istilah nasionalisme––atau masih mementingkan kepentingan pribadi––dari tingkat kesejahteraan rakyatnya.
        Kita juga harus memahami pula bahwa rakyat merupakan bagian terpenting dari suatu Negara, selain wilayah tentunya. Jadi jika rakyat adalah yang paling penting dari suatu negara, nasionalisme berarti cinta kepada rakyat. Bagi saya, tidak ada yang perlu dibanggakan dari suatu bangsa yang masih (maaf) ‘memelihara’ rakyat miskin, dan lebih parah lagi, memanfaatkan rakyat sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Bangga dengan kebobrokan? Hal itu tidak lebih dari nasionalisme semu, nasionalisme palsu.


NASIONALISME

Semangat nasionalisme muncul atau banyak dipopulerkan oleh beberapa tokoh pemimpin gerakan nasionalisme sekitar awal abad 20 M, terutama terjadi di negara-negara yang sedang mengalami kemunduran karena penjajahan pihak asing (Barat). Tapi pada kenyataannya, benih-benih awal dari ideologi ini sudah lama berkembang terutama oleh filsuf Jerman dan tokoh revolusioner Italia. Bahkan jauh sebelum itu.
Cikal-bakal gagasan mengenai nasionalisme sebenarnya bermula dari kritikan filsuf Jerman bernama Johann Gottfried von Herder (sekitar abad 18M) terhadap pandangan para filsuf “pencerahan” seperti Imanuel Kant. Mereka (para filsuf pencerahan) mengajarkan bahwa manusia yang beradab, pada dasarnya memiliki kaidah nalar yang sama di setiap saat, di semua tempat, sehingga jika manusia membiarkan diri mereka dibimbing oleh nalar, maka dengan sendirinya manusia akan bergerak ke arah seperangkat hukum dan nilai universal. Jadi menurut Kant, setiap manusia, di semua tempat, akan menghasilkan hukum dan nila-nilai universal yang sama, tanpa melihat perbedaan kebudayaan yang khas di setiap tempat (Ansary, Tamim. 2009).

Tapi Herder tidak setuju dengan apa yang disebut dengan nilai-nilai universal tersebut, dan mengatakan bahwa dunia ini terdiri dari berbagai entitas budaya, yang disebut volks atau rakyat. Masing-masing entitas ini memiliki esensi spiritual yang dimiliki secara umum oleh orang-orang tertentu. Kesamaan bahasa, tradisi, adat istiadat, dan sejarah menyatukan sekelompok orang bersama-sama sebagai sebuah volk. Menurutnya, kekelompokan tersebut bukan hanya sebuah kontrak sosial atau semacam kesepakatan di antara para anggotanya untuk bergabung. Dan bahwa bangsa-bangsa memiliki satu ketunggalan yang membuat mereka sama. Lebih jauh lagi, Herder juga berpendapat bahwa setiap bangsa tidak bisa dinilai siapa yang paling baik diantaranya, hanya saja mereka berbeda. Dia juga mengatakan bahwa satu bangsa tidak bisa diukur berdasarkan nilai-nilai bangsa lain (Ansary, Tamim. 2009).

 Ide-ide Herder yang menjadi dasar ideologi nasionalisme ini kemudian sedikit dimodifikasi atau digeser maknanya oleh Johann Gottileb Ficthe. Gottileb Ficth setuju bahwa manusia mengelompok bersama-sama dan membentuk sebagai bangsa yang berbeda-beda, masing-masing diikat oleh semangat yang sama. Tapi Gottileb Ficth lebih menekankan bahwa sebagian volks/rakyat ada yang lebih unggul dari yang lain. Dan secara khusus menyatakan bahwa Jerman lebih unggul daripada Perancis (Ansary, Tamim. 2009). Inilah cikal-bakal ideologi nasionalisme ini, walaupun belum sampai pada ideology politik seperti yang dikemukakan Joseph Mazzini.
 
Kemudian semangat nasionalisme ini berkembang dengan cepat sejalan dengan kejatuhan Napoleon Bonaparte pada 1870. Ditambah lagi Kanselir Prusia, Ottovon Bismarck yang baru saja membentuk satu bangsa dari banyak Negara Jerman kecil, memancing Napoleon III untuk menyatakan perang terhadap Bangsa Jerman, dan berhasil mengalahkan Perancis, bahkan merebut dua Provinsi perbatasan milik Perancis.
 
Lebih jauh lagi, seniman-seniman dan sejarawan Jerman mulai mencari sumber volksgiest Jerman untuk menyusun sebuah narasi mitologis yang melacak asal-usul Jerman ke bangsa Indo––Eropa kuno, suku Aryan (Arya) di pegunungan Kaukasus.
 
Sementara itu di Italia, ketika penguasa Austria menjadi penguasa asing di negara tersebut (Italia), Joseph Mazzini yang berpikir untuk meyelamatkan Italia dari penguasa asing itu kemudian menambahkan ide-ide yang telah diciptakan Hedder sehingga membentuk ideologi politik. Mazzini berpendapat bahwa setiap bangsa memiliki hak atas wilayahnya sendiri, hak untuk mendapatkan pemimpin dari kalangan sendiri, hak untuk menentukan perbatasan, hak untuk memperluas perbatasan sejauh sejauh yang diperlukan untuk mencakup semua orang yang terdiri dari bangsanya, dan hak untuk menuntaskan kedaulatan di dalam batas-batas tersebut. Dan suatu tindakan yang benar, alami, dan mulia bagi orang-orang dari suatu bangsa untuk hidup dalam satu negara yang tidak putus-putus secara geografis.
 
Nasionalisme Jerman dan Italia lahir dari kekalahan dan dendam, seperti halnya semangat nasionalisme Negara-Negara yang ingin bebas dari penjajahan bangsa Barat seperti India, Indonesia, Cina, dan sebagainya––walaupun Negara-negara yang disebut terakhir hanya mengambil konsep dari Negara-negara Eropa.
 
Hal yang diutarakan sebelumnya merupakan nasionalisme modern yang pertamakali dicetuskan oleh beberapa filsuf dan tokoh nasionalis. Tapi, jauh sebelum filsuf dan tokoh nasionalis tersebut mengemukakan pendapatnya tentang nasionalisme, dapat dipastikan sudah ada nasionelisme “kuno”. Hal ini karena nasionalisme merupakan bentuk adaptasi suatu kelompok manusia yang muncul karena naluri ingin mempertahankan diri, mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tumbuhnya ikatan ini.

Jadi nasionalisme “kuno” hanya menekankan pada bentuk adaptasi atau reaksi untuk mempertahankan kedaulatan kelompoknya dari ancaman luar/asing, sedangkan nasionelisme “modern” lebih dari itu, karena nasionalisme modern ini menekankan pada kebanggaan bangsanya daripada bangsa lain, sehingga ia berhak untuk mendapatkan pemimpin dari kalangan sendiri, berhak untuk menentukan perbatasan, berhak untuk memperluas perbatasan, berhak untuk memperluas perbatasan sejauh yang diperlukan untuk mencakup semua orang yang terdiri bangsanya, atau dengan kata lain berhak menentukan nasib bangsanya sendiri.


TINGKAT NASIONALISME SUATU NEGARA/BANGSA TERCERMIN
DARI TINGKAT KESEJAHTERAAN RAKYATNYA

Diatas merupakan beberapa gambaran mengenai definisi nasionalisme, tapi tetap saja intinya adalah bahwa nasionalisme merupakan semangat untuk mencintai bangsanya. Tapi apakah semangat nasionalisme suatu bangsa tidak ada indikatornya sehingga kita (para pejabat/penguasa dan mahasiswa sebagai kaum cerdik cendikia) dapat mengklaim semangat ini seenaknya dengan tanpa melihat kondisi bangsanya???

Beberapa waktu lalu, walaupun hanya sementara, seakan-akan kita semua terbius dengan diselenggarakannya piala AFF. Bagaimana tidak, Timnas Indonesia berhasil maju sampai babak final, walaupun harus puas menjadi juara dua setelah dikalahkan “musuh bebuyutan” kita. Tak ayal beberapa masyarakat kita merasa bangga melihat prestasi timnas Indonesia maju sampai babak Final Piala AFF. Bahkan dibeberapa pertandingan yang melibatkan Indonesia itu dilihat langsung oleh presiden. Beberapa pejabat Negara yang tidak bisa datang ke TKP pun juga menyempatkan diri untuk melihat pertandingan tersebut di TV (nonton bareng). Ketika itu, semangat nasionalisme bangsa ini begitu meluap-luap. Banyak sekali warga, baik kalangan terpelajar sampai pejabat sangat antusias dan bersorak-sorak mendukung timnas Indonesia. Tapi, bukan berarti semua warga Indonesia melakukan itu, ada banyak juga bapak-bapak atau ibu-ibu sedang mati-matian mencari nafkah untuk anak-anaknya hanya untuk bertahan hidup.

Ya, saya tahu bahwa menjadi supporter atau mendukung timnas yang sedang melawan tim dari bangsa lain merupakan salah satu wujud semangat nasionalisme. Secara “kasar”  mereka terlihat sangat nasionalis. Tapi benarkah demikian?
Apakah kita harus percaya kepada seseorang yang mengaku bahwa dirinya seorang gamer Point Blank yang hebat jika dalam setiap pertandingan saja dia berada di posisi terakhir karena tidak berhasil menembak satupun musuhnya?

Apakah kita bisa percaya kepada seseorang yang mengaku bahwa dirinya sangat jago dalam bidang hardware computer jika melepas dan memasang  heatsink fan (HSF) CPU saja belum pernah dilakukannya?

Apakah kita bisa percaya kepada seseorang yang mengaku bahwa dirinya adalah seorang yang baik jika terhadap binatang saja tidak punya belas kasihan?

Apakah saya bisa dikatakan seorang pelajar yang baik dan bertanggung jawab jika ilmu yang telah saya dapatkan hanya untuk diri sendiri?

Apakah saya bisa dikatakan memiliki semangat nasionalis jika saya hanya mendukung Timnas, tanpa memperhatikan kondisi Negara yang sesungguhnya?

Lalu, apakah kita bisa percaya kepada seorang pemimpin bahwa dirinya adalah seorang yang nasionalis, cinta terhadap bangsanya jika rakyatnya saja masih banyak yang mati kelaparan?

Jadi, seseorang dapat dikatakan seorang gamer Point Blank yang hebat jika setidaknya telah menghabisi setengah musuhnya. Seseorang dapat dikatakan seorang yang jago hardware computer jika paling tidak ia bisa merakit beberapa komponen PC sehingga menjadi kesatuan sebuah PC. Seseorang dapat dikatakan seorang yang baik jika ia memiliki belas kasihan terhadap binatang. Seseorang dapat dikatakan pelajar yang baik jika ilmu yang telah ia dapatkan digunakan untuk kepentingan-kepentingan orang lain, bukan hanya untuk diri sendiri. Dan seseorang dapat dikatakan mencintai negaranya jika telah meluruskan kebijakan yang tidak tepat bagi negaranya, bukan hanya menjadi supporter pertandingan sepakbola.

Demikian juga dengan pemimpin, dapat dikatakan memiliki semangat nasionalisme atau tidak bisa dilihat dari tingkat kesejahteraan rakyatnya. Terlebih lagi jika Negara yang bersangkutan memiliki SDA yang sangat melimpah. Jadi tidak pantas rasanya seorang yang memiliki jabatan atau seorang yang sekolah tinggi berbicara nasionalisme ketika kondisi negaranya sedang dalam keadaan kacau.... Hal itu tidak lebih dari nasionelisme palsu, bangga terhadap sesuatu yang kita tahu bahwa hal itu sama sekali tidak membuat bangga...

Friday, January 21, 2011

PEMBUNUHAN TERSELUBUNG

Seseorang bisa membunuh satu sampai dua orang dengan menggunakan pedang, membunuh sepuluh sampai tiga puluh orang dengan menggunakan  senapan serbu, membunuh  lima puluh sampai seratus orang dengan menggunakan senapan mesin, dan membunuh  seratus ribu sampai lima ratus ribu orang dengan menggunakan bom. Tapi hanya dengan pembiaran, perkataan, atau kebijakan, seseorang bisa menyebabkan lebih dari satu juta orang terbunuh setiap tahun, dengan berbagai penyebab kematian yang lebih menyakitkan!

Mensius (372SM-289SM), seorang filsuf dari Bangsa Cina Kuno sebenarnya sudah sangat memahami keadaan seperti yang saya tulis diatas. Karya-karyanya memang begitu hebat, sebuah pandangan filsafat tentang bagaimana “seharusnya” menjadi seorang penguasa di dalam suatu sistem tatanegara yang ditulis dengan sangat indah, begitu mendalam, dan bersifat umum sehingga mudah dipahami. Pantas rasanya jika Beliau disebut sebagai ahli filsafat demokrasi. Tidak hanya itu, Mensius juga seorang yang mengenalkan konsep demokrasi yang realistis, karena telah menyatakan, “Rakyat adalah yang terpenting, kedua adalah semangat kenegaraan, kemudian baru penguasa”
Dibawah akan saya tulis kembali beberapa karya beliau yang berhubungan dengan masalah seperti ini. Tentu saja, hal ini juga untuk mendukung pendapat saya sebelumnya.

MENSIUS:
“Apakah perbedaan antara membunuh seseorang dengan tongkat dan membunuh seseorang dengan pedang?” Jawabannya adalah “Tidak ada bedanya sama sekali!”
Kemudian Mensius melanjutkan “Apakah perbedaan antara melakukan pembunuhan dengan sebilah pedang dan membunuh dengan menggunakan cara-cara pemerintahan sebagai kedoknya?” Sekali lagi jawabannya adalah, “Tidak ada bedanya!”
Mensius berkata, “Dalam kandang Baginda terpelihara hewan-hewan ternak yang gemuk. Dalam kandang Baginda terpelihara kuda-kuda sehat tanpa kurang suatu apapun. Tetapi rakyat Baginda terlihat menderita kelaparan, dan di ladang-ladang terdapat orang-orang yang mati karena kelaparan.”
“Binatang buas saling memangsa sesamanya, dan manusia membencinya. Apabila raja yang disebut sebagai orang tua bagi rakyat menjalankan pemerintahannya dengan memberikan kesempatan bagi binatang-binatang buas memangsa manusia, apa artinya sebutan orang tua demikian bagi rakyat?”
“Chung-ni berkata, ‘Bukankah ia tidak mempunyai keturunan yang bisa membuat patung kayu untuk dikuburkan bersama si mati?’ (Maksudnya ia berkata) mengapa orang itu membuat patung-patung manusia dan menggunakannya untuk suatu tujuan, lantas penilaian apa yang pantas diberikan pada orang yang menyebabkan banyak rakyat meninggal karena kelaparan?”
 “Persediaan Baginda begitu banyak sampai anjing dan babi diberi makan makanan manusia, dan Baginda tidak tahu bagaimana menyimpan makanan yang melimpah ruah tersebut. Sementara itu di jalan-jalan ada banyak orang mati karena kelaparan, dan Baginda tidak tahu bagaimana cara meringankan mereka. Apabila ada warga yang meninggal, maka Baginda mengatakan, ‘ Itu bukan karena salahku, itu karena adanya tahun yang kurang menguntungkan.’ Apa bedanya hal ini dengan menikam seseorang hingga meninggal, dan kemudian mengatakan, ‘Itu bukan karenaku. Dia mati terkena senjata?’ Jika Baginda tidak menimpakan kesalahan pada tahun, maka seketika rakyat dan semua yang ada di bawah langit ini akan berbondong-bondong datang kepada Baginda”  (Mensius. Dikutip dari: Lin Yutang: Penguasa bijak/Wisdom of China terbitan Curiosita 2004).
Beberapa hal yang telah dikatakan oleh Mensius tersebut sangat perlu mendapat perhatian, khususnya dalam kehidupan bernegara di Indonesia yang bisa dikatakan sudah sangat kacau. Kita bisa melihat, bagaimana pejabat Negara mendapat berbagai fasilitas penunjang pekerjaan yang sangat berlebihan. Mereka menganggap bahwa barang yang bernama “Toyota Royal Crown Saloon”  merupakan barang biasa, sementara banyak rakyatnya masih kelaparan dan menderita. Bahkan akhir-akhir ini kita bisa melihat bagaimana menteri keuangan di negeri ini sangat serius menanggapi isu tentang kenaikan gaji presiden beserta para pejabatnya, sementara para pejabat bisa dikatakan tidak mampu memberikan yang terbaik bagi Negaranya. Inilah yang bisa disebut sebagai “tanggung jawab semu!” Mereka pikir kita hidup di Negara yang seperti apa sehingga mereka bisa memaklumi kemiskinan yang menimpa rakyatnya?
Matahari, Negara ini mendapat cahaya matahari sepanjang tahun yang berarti kita mendapat energy berlimpah, bisa sebagai pembangkit listrik maupun untuk energi bagi berlangsungnya kehidupan tumbuhan hijau. Banyak gunung berapi, dengan adanya aktifitas vulkanik kita bisa merasakan bagaimana biji bunga kamboja yang jatuh dari mahkota bunganya dapat tumbuh tanpa bantuan manusia, yang berarti sektor pangan seharusnya surplus, dengan harga yang masuk akal tentunya. Sumber Daya Alam, di dalam perut bumi di Indonesia ini tersimpan bahan-bahan mentah yang kaya-raya, mulai dari emas, minyak bumi, intan, dan tambang-tambang mineral lainnya—yang sayang sekali hanya dapat kita berikan kepada asing, dan yang paling lucu lagi, alasan penguasa memberikan SDA tersebut kepada pihak asing ialah karena kita tidak mampu mengolahnya. Lalu pertanyaannya, untuk apa Negara ini berhutang banyak-banyak jika infrastruktur pengolah SDA saja tidak punya? Dan untuk apa Universitas sekelas UGM, UI, ITB, dan yang lainnya jika masalah seperti itu saja tidak bisa diselesaikan?
Kemudian, hal yang paling lucu adalah ketika seorang penguasa masih sempat bersolek dan bergaya santun seperti orang yang tidak memiliki tanggung jawab apapun kepada rakyat yang ia perintah atau kuasai telah menderita karena kebijakannya.
Pada akhirnya jika mereka—yang memperoleh Toyota Crown Royal  Saloon—tidak bisa mengatasi masalah dibidang masing-masing, mereka dengan santai dan lucunya akan menyalahkan pihak-pihak yang sebetulnya tidak bertanggung jawab. Misalnya ketidak mampuan dalam mencukupi beras, gula, kedelai, minyak bumi, dan sebagainya, kemudian dikaitkan dengan perubahan iklim dan sebagainya. Yang paling parah adalah memaklumkan kemiskinan dan kelaparan dengan alasan masih Negara berkembang.
Bukankah dengan berbagai alasan, seorang sopir (bus, mobil, motor), nahkoda, pilot, sampai masinis pun akan diadili ketika terjadi sesuatu terjadi pada kendaraan yang ia kendalikan, walaupun dia tidak bersalah. Misalnya saja ada pengendara mobil yang sudah membawa kendaraannya dengan hati-hati dan mematuhi segala aturan lalu-lintas, tapi ada pengendara motor yang bermanuver asal-asalan sehingga ia terjatuh dan tanpa sengaja mobil itu menabrak pengendara motor tersebut sehingga meninggal. Sudah jelas, hal ini pengendara mobil tetap akan disalahkan. Lalu mengapa hukum seperti itu bisa menjerat orang yang bertanggung jawab dengan apa yang ia kendalikan, tapi tidak bisa menyentuh orang yang mengendalikan suatu Negara? Apalagi ia bukan raja, hanya seorang yang dipilih melalui pemilu. Lalu apa bedanya dengan monarki kalau penguasa tidak bisa dijatuhi hukuman? Dan bagaimana ia bisa mendapat hukuman jika tidak ada yang menuntut, bahkan tidak ada yang mengetahui kejahatan-kejahatannya? (maksud kejahatan di sini adalah penguasa tidak peduli terhadap rakyatnya, seperti membiarkan rakyatnya mati kelaparan, saling bermusuhan, terjadi kesenjangan social, dan sebagainya).
Dari beberapa hal tersebut, sudah jelas bagaimana seorang penguasa bisa melakukan pembunuhan dengan cara-cara yang lebih canggih dan sangat terencana. Lalu apakah dengan cara yang lebih canggih ini, manusia bisa melakukannya tanpa sama sekali mendapat hukuman? Saya rasa pembunuh seperti ini justru harus diprioritaskan. Tapi masalahnya, orang-orang seperti ini selain memperoleh kekuasaan, pada kenyataannya masalah seperti ini memang agak sulit dibuktikan karena banyak pihak yang terlibat.
Mungkin, hal yang membuat hal ini begitu sulit dilakukan adalah karena rakyat sendiri tidak peduli terhadap sesamanya. Rakyat harus mengerti hak dan kewajibannya dalam suatu pemerintahan. Dan rakyat harus memahami bagaimana seorang penguasa yang bersungguh-sungguh memimpin (memakmurkan) negaranya atau penguasa yang rela membunuh rakyatnya demi mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Jadi, yang perlu ditekankan adalah pemahaman terhadap “hak” dan “kewajiban” seorang warga Negara. Bukan hanya hak, tapi juga kewajiban, dan bukan hanya kewajiban, tapi juga hak…