Saturday, April 16, 2011

MASA LAMPAU VS MASA KINI: Perbedaan Tingkat Kreativitas Lokal Dalam Menerima Gagasan Dari Luar

Istilah globalisasi tentu sudah tidak asing lagi bagi kita. Secara sederhana, istilah globalisasi mengacu pada pengertian bahwa batas-batas antara negara satu dengan negara lain seakan menjadi tidak ada lagi seiring semakin canggihnya alat-alat komunikasi, informasi, transportasi, maupun produksi. Walaupun pada awalnya istilah globalisasi ini pertama kali digunakan oleh Theodore Levitt tahun 1985 untuk merujuk pada bidang politik-ekonomi, khususnya politik perdagangan bebas dan transaksi keuangan, namun sekarang kita bisa merasakan dampak globalisasi secara lebih luas. Beberapa unsur budaya seperti sistem pengetahuan, sistem teknologi, dan seni juga tak luput dari pengaruh globalisasi. Contoh sederhananya, sekarang ini kita bisa melihat orang-orang yang tinggal di daerah beriklim tropis maupun dingin memakai setelan kemeja dan dasi sebagai pakaian formalnya, memotong rambut dengan gaya Mohawk, Punk, Spike sampai gaya rambut Korea, memakai celana Jeans, sepatu high heels, makan dengan menggunakan sendok dan garpu, makan Pizza, Burger, minum Cola-Cola, Fanta, sampai Pepsi. Namun, pengaruh globalisasi yang sesungguhnya dapat kita lihat dari sebagian besar masyarakat di dunia yang sekarang ini sedang fokus dalam memberi reaksi pro-kontranya mengenai konflik di Libya—gagasan-gagasan dalam hitungan menit tersebar ke berbagai penjuru dunia melalui kecanggihan komunikasi dan informasi.

Dari sudut pandang perkembangan kebudayaan, globalisasi—yang pertama dikenalkan oleh Theodore Levitt—merupakan istilah baru yang merupakan salah satu bagian dari sarana difusi yang mempercepat persebaran gagasan-gagasan ke penjuru dunia. Difusi, atau dalam bahasa Inggris Diffusion adalah penyebaran ide-ide atau gagasan dari suatu tempat ke tampat lain. Prinsip dasar teori difusi adalah bahwa suatu penemuan/inovasi, gagasan-gagasan, dan unsur-unsur kebudayaan di dunia ini muncul dari satu tempat tertentu, kemudian gagasan-gagasan atau ide-ide dari tempat munculnya peradaban tersebut menyebar ke berbagai tempat di dunia. Jadi, sejak adanya kontak  antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain kemudian salah satu budaya itu menerima gagasan-gagasan dari kebudayaan lainnya, dapat dikatakan telah terjadi difusi. Atau dengan kata lain, hal itu sebenarnya sudah lama sekali terjadi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap bangsa—dalam perkembangan unsur-unsur kebudayaannya—pasti pernah menerima gagasan-gagasan dari luar. Bahkan suatu bangsa yang sudah mempunyai salah satu unsur budaya lokalnya sendiri pun banyak yang tidak berdaya dalam menolak gagasan-gagasan dari luar karena adanya beberapa kepentingan atau tekanan—baik yang berasal dari luar maupun dari dalam—sehingga gagasan dari luar seringkali bercampur dengan budaya lokal dan memunculkan ciri budaya baru yang khas, seperti Islam Jawa, Kristen Jawa, penanggalan Jawa, konsep Gunung-Candi, tradisi Sekaten, sampai gaya bangunan Indis. Atau akibat yang lebih ekstrim lagi ialah menggantikan sama sekali gagasan yang sudah mapan dengan gagasan-gagasan baru dari luar, misalnya digantikannya agama resmi suatu negara/kerajaan dengan agama baru, sistem pengetahuan global tentang astronomi yang awalnya menganggap bumi sebagai pusat alam semesta berubah menjadi pengetahuan baru bahwa matahari sebagai pusat tatasurya, atau sistem monarki absolut digantikan oleh monarki konstitusional, seperti yang kini dianut oleh seluruh negara-bangsa di dunia. Jika sekarang kita sedang dalam proses membaca atau membuat tulisan dalam huruf latin, maka suka atau tidak, kita telah menerima gagasan dari luar.
Sesungguhnya, penerimaan secara total atau sebagian besar gagasan-gagasan dari luar tersebut tidak menjadi masalah ketika gagasan-gagasan di dalam yang sudah mapan memang salah, dianggap salah, atau diyakini tidak sesuai dengan kondisi sosial-lingkungan manusia di suatu tempat tertentu. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa suatu bangsa menerima gagasan tersebut tanpa pikir panjang, bahkan yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan dan sosial bangsanya pun diterima, maka apakah masih ada alasan lagi untuk mengelak ketika ada tuduhan bahwa bangsa tersebut merupakan bangsa yang hidup tanpa kreativitas budaya lokal sama sekali? Jawaban setiap individu mungkin akan bervariasi, tergantung dari sudut pandang yang digunakannya.
Sekarang bangsa kita dapat dikatakan sudah mendekati atau bahkan sedang mengalami krisis perkembangan kebudayaan. Hal dapat kita lihat dari ketidakmampuan bangsa kita berkreasi dalam berbagai aspek kebudayaan. Seperti kita ketahui, selama ini telah diakui oleh para ahli bahwa terdapat 7 unsur kebudayaan universal, yaitu bahasa, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, organisasi sosial, religi, dan seni. Dari ketujuh unsur budaya tersebut, bagian mana yang kita kembangkan dari kreativitas kita sendiri? Bahasa, organisasi sosial dan religi tentu saja iya. Bahasa Indonesia merupakan kreativitas hebat bangsa kita dan muncul sejak diikrarkan sumpah pemuda II pada 28 Oktober 1928. Organisasi sosial dahulu juga mempunyai dasar yang hebat, yang diatur dalam Pancasila. Tentu, Pancasila sebagai sebuah ideologi mengatur setiap organisasi sosial kita, dari yang paling besar sampai yang paling kecil. Mengenai religi, hal ini tidak perlu dipertentangkan lagi, terdapat beberapa penyesuaian dengan religi asli kita.
Itu dulu. Sudah puluhan tahun lalu, ketika para pendiri bangsa kita yang hebat berniat memberikan warisan kepada kita sebuah negara-bangsa yang berdaulat dengan dasar-dasar negara yang hebat pula. Jadi itu semua karya mereka. Sekarang? Sekarang kita hanya bisa memakai hasil kreativitas luar, yang artinya hanya bisa menerima gagasan-gagasan dari luar. Bahkan seringkali yang kita terima adalah hal-hal yang justru merugikan kita. Sudah dikatakan sebelumnya bahwa penyerapan gagasan-gagasan dari luar tersebut tidak menjadi masalah asalkan kita tetap berkreativitas dan tidak terlalu pasif. Yang tidak bisa diterima ialah menerima gagasan-gagasan dari luar tanpa melakukan seleksi terlebih dulu, mana yang perlu, mana yang tidak perlu diadopsi.
Sekarang, bisa kita rasakan bagaimana Ideologi bangsa kita—Pancasila—tidak diterapkan dalam kehidupan bernegara. Bahkan sekarang, entah dengan sengaja atau tidak, bangsa kita sudah melupakan ideologi kita itu, dasar negara kita. Lihat saja, sekolah-sekolah dasar sampai tingkat menengah-atas di negeri kita sudah tidak mengajarkan PMP atau PPKN, justru menggantinya dengan PKN—dengan meniadakan satu singkatan huruf “P”, yang berarti Pancasila. Sepertinya hal itu sejalan dengan tergantikannya Demokrasi Pancasila dan Ekonomi pancasila oleh Demokrasi dan Ekonomi Liberal. Belum lagi mengenai masalah sistem teknologi maupun pengetahuan. Kita hanya bisa menjadi pengguna fanatik Communicator Nokia, sampai-sampai sejumlah masyarakat kita rela membelinya dengan harga sangat tinggi hanya untuk mendapat barang itu lebih awal saat pre-launching resminya. Begitu juga mengenai demam Black Berry yang booming hanya karena dipakai Obama. Seni kita pun demikian. Walau pengertian seni sendiri cukup rumit, tapi anggaplah gaya berpakaian merupakan bagian paling sederhana dari seni, dan anggaplah karya-karya dalam bidang pengetahuan dan teknologi juga merupakan bagian dari karya seni. Bisa kita lihat bagaimana masyarakat kita sangat senang meniru gaya berpakaian orang-orang luar, walau tidak cocok dengan kondisi lingkungan di Indonesia, seperti penggunaan kemeja plus dasi sebagai pakaian formal atau pakaian sehari-harinya yang selalu mengikuti tren. Karya-karya seni sebagai sarana mempertahankan negara pun juga hampir tidak ada, seperti ketidakmampuan dalam membuat peralatan pertahanan seperti kapal, pesawat, atau menciptakan senjata-senjata yang dibuat tanpa membeli lisensi untuk teknologi senjata dari luar.
Lihatlah pada masa lampau, ketika leluhur kita menerima gagasan-gagasan dari peradaban lain pada masa Hindu-Buddha dan Islam. Bisa dikatakan mereka cukup aktif, selektif, dan kreatif. Kita bisa melihat bukti-bukti tersebut melalui peninggalan-peninggalan (budaya) bendawi mereka, seperti candi, masjid, dan tidak sedikit gaya bangunan gereja yang  dipadukan dengan unsur-unsur lokal. Juga bisa kita dari perkembangan tulisan dan bahasanya sebagaimana dapat kita lihat dan rasakan sekarang.
Kita akui bahwa pada masa Hindu-Buddha dan Islam itu, berbagai kerajaan di Nusantara banyak sekali menyerap unsur-unsur budaya India dan Arab, seperti religi, pengetahuan, maupun seni. Ketika leluhur kita menyerap sistem religi dari India, mereka tidak begitu saja melupakan sistem religi/kepercayaan asli mereka. Hal itu terbukti dari peninggalan monumental pemujaan mereka yang sering disebut candi. Candi merupakan tempat pemujaan bagi agama Hindu maupun Buddha, sedangkan gunung merupakan tempat bersemayam roh-roh leluhur menurut kepercayaan asli bangsa Indonesia. Kita dapat menjumpai campuran atau akulturasi dari kedua unsur kepercayaan tadi di tempat-tempat pemujaan leluhur kita pada masa Hindu-Buddha, yaitu candi yang dibangun di lereng-lereng gunung yang tinggi, seperti Komplek Candi Gedong Songo, Komplek Candi Dieng, Candi Sukuh, dan Candi Ceto. Atau di tempat pegunungan atau dunung yang tidak terlalu tinggi seperti Candi Ijo, Ratu Boko, Barong, atau Candi Ngawen. Bahkan ketika menyerap unsur-unsur budaya Islam, mereka juga tidak serta-merta melupakan unsur-unsur asli dari masa prasejarah maupun Hindu-Buddha. Ahli kebudayaan banyak yang mengakui bahwa ketika Islam masuk ke Jawa, yang terjadi adalah Jawanisasi Islam. Juga bisa kita lihat dari bentuk Nisan di makam-makam Islam di Nusantara yang mirip dengan unsur Hindu, baik bentuk maupun hiasan-hiasannya. Perkembangan bahasa dan sistem pengetahuan pun juga tidak kalah kreatif. Orang Aceh tetap menggunakan bahasa Aceh, begitu juga Sunda, Minang, Jawa, Nias, Dayak, Bugis. Mereka mengembangkan sendiri bahasa mereka sehingga kita mengenal bahasa mereka seperti sekarang ini. Demikian juga dengan hukum-hukum adatnya.
Dari beberapa contoh sederhana itu, kita bisa melihat begitu besarnya perbedaan tingkat kreativitas lokal bangsa Indonesia dalam menerima gagasan dari luar, antara masa kini dan masa lampau. Kita bisa melihat bahwa semakin jauh ke depan, tingkat kreativitas kita semakin berkurang, jauh sekali berkurang. Ketika leluhur kita secara aktif mencari pengetahuan luar dalam upaya mengembangkan kebudayaannya, mereka menyeleksi gagasan-gagasan mana yang perlu, yang pada akhirnya diadopsi dengan beberapa “penyesuaian” dengan kondisi sosial, budaya, dan lingkungannya. Apakah penurunan kreativitas itu akibat dari globalisasi? Atau terjadi sejak semangat kolinialisasi Eropa ke seluruh dunia? Keduanya memang sangat berpegaruh, tapi mulai sekarang, kita bisa merubah sikap kita dalam menghadapi pengaruh Globalisasi yang begitu besar terhadap masuknya gagasan-gagasan dari luar. Hal itu bisa dilakukan dengan bersama-sama bercermin ke masa lalu melihat kearifan leluhur kita dalam menyerap gagasan-gagasan dari luar untuk membangkitkan lagi kreativitas bangsa kita seperti dulu.
Difusi memang tidak bisa ditolak keberadaannya, namun dalam menerima gagasan-gagasan tersebut haruslah dipertimbangkan akibat-akibat yang mungkin terjadi jika gagasan itu diadopsi. Dengan kata lain kita harus bisa memilih gagasan-gagasan mana saja yang perlu diadopsi dan mana yang tidak perlu. Masalah-masalah seperti itu—jika kita mau bercermin ke masa lalu—sebenarnya juga dialami oleh leluhur kita yang dapat kita ketahui berdasarkan peninggalan-peninggalan mereka, baik yang terlihat (tangible) maupun yang tak terlihat (intangible). Masalah kita sekarang ialah telah melupakan sejarah bangsanya sendiri, bukankah ada ungkapan, “Bangsa yang lupa sejarah tidak beda dengan manusia yang lupa ingatan”?

No comments:

Post a Comment