Friday, January 21, 2011

PEMBUNUHAN TERSELUBUNG

Seseorang bisa membunuh satu sampai dua orang dengan menggunakan pedang, membunuh sepuluh sampai tiga puluh orang dengan menggunakan  senapan serbu, membunuh  lima puluh sampai seratus orang dengan menggunakan senapan mesin, dan membunuh  seratus ribu sampai lima ratus ribu orang dengan menggunakan bom. Tapi hanya dengan pembiaran, perkataan, atau kebijakan, seseorang bisa menyebabkan lebih dari satu juta orang terbunuh setiap tahun, dengan berbagai penyebab kematian yang lebih menyakitkan!

Mensius (372SM-289SM), seorang filsuf dari Bangsa Cina Kuno sebenarnya sudah sangat memahami keadaan seperti yang saya tulis diatas. Karya-karyanya memang begitu hebat, sebuah pandangan filsafat tentang bagaimana “seharusnya” menjadi seorang penguasa di dalam suatu sistem tatanegara yang ditulis dengan sangat indah, begitu mendalam, dan bersifat umum sehingga mudah dipahami. Pantas rasanya jika Beliau disebut sebagai ahli filsafat demokrasi. Tidak hanya itu, Mensius juga seorang yang mengenalkan konsep demokrasi yang realistis, karena telah menyatakan, “Rakyat adalah yang terpenting, kedua adalah semangat kenegaraan, kemudian baru penguasa”
Dibawah akan saya tulis kembali beberapa karya beliau yang berhubungan dengan masalah seperti ini. Tentu saja, hal ini juga untuk mendukung pendapat saya sebelumnya.

MENSIUS:
“Apakah perbedaan antara membunuh seseorang dengan tongkat dan membunuh seseorang dengan pedang?” Jawabannya adalah “Tidak ada bedanya sama sekali!”
Kemudian Mensius melanjutkan “Apakah perbedaan antara melakukan pembunuhan dengan sebilah pedang dan membunuh dengan menggunakan cara-cara pemerintahan sebagai kedoknya?” Sekali lagi jawabannya adalah, “Tidak ada bedanya!”
Mensius berkata, “Dalam kandang Baginda terpelihara hewan-hewan ternak yang gemuk. Dalam kandang Baginda terpelihara kuda-kuda sehat tanpa kurang suatu apapun. Tetapi rakyat Baginda terlihat menderita kelaparan, dan di ladang-ladang terdapat orang-orang yang mati karena kelaparan.”
“Binatang buas saling memangsa sesamanya, dan manusia membencinya. Apabila raja yang disebut sebagai orang tua bagi rakyat menjalankan pemerintahannya dengan memberikan kesempatan bagi binatang-binatang buas memangsa manusia, apa artinya sebutan orang tua demikian bagi rakyat?”
“Chung-ni berkata, ‘Bukankah ia tidak mempunyai keturunan yang bisa membuat patung kayu untuk dikuburkan bersama si mati?’ (Maksudnya ia berkata) mengapa orang itu membuat patung-patung manusia dan menggunakannya untuk suatu tujuan, lantas penilaian apa yang pantas diberikan pada orang yang menyebabkan banyak rakyat meninggal karena kelaparan?”
 “Persediaan Baginda begitu banyak sampai anjing dan babi diberi makan makanan manusia, dan Baginda tidak tahu bagaimana menyimpan makanan yang melimpah ruah tersebut. Sementara itu di jalan-jalan ada banyak orang mati karena kelaparan, dan Baginda tidak tahu bagaimana cara meringankan mereka. Apabila ada warga yang meninggal, maka Baginda mengatakan, ‘ Itu bukan karena salahku, itu karena adanya tahun yang kurang menguntungkan.’ Apa bedanya hal ini dengan menikam seseorang hingga meninggal, dan kemudian mengatakan, ‘Itu bukan karenaku. Dia mati terkena senjata?’ Jika Baginda tidak menimpakan kesalahan pada tahun, maka seketika rakyat dan semua yang ada di bawah langit ini akan berbondong-bondong datang kepada Baginda”  (Mensius. Dikutip dari: Lin Yutang: Penguasa bijak/Wisdom of China terbitan Curiosita 2004).
Beberapa hal yang telah dikatakan oleh Mensius tersebut sangat perlu mendapat perhatian, khususnya dalam kehidupan bernegara di Indonesia yang bisa dikatakan sudah sangat kacau. Kita bisa melihat, bagaimana pejabat Negara mendapat berbagai fasilitas penunjang pekerjaan yang sangat berlebihan. Mereka menganggap bahwa barang yang bernama “Toyota Royal Crown Saloon”  merupakan barang biasa, sementara banyak rakyatnya masih kelaparan dan menderita. Bahkan akhir-akhir ini kita bisa melihat bagaimana menteri keuangan di negeri ini sangat serius menanggapi isu tentang kenaikan gaji presiden beserta para pejabatnya, sementara para pejabat bisa dikatakan tidak mampu memberikan yang terbaik bagi Negaranya. Inilah yang bisa disebut sebagai “tanggung jawab semu!” Mereka pikir kita hidup di Negara yang seperti apa sehingga mereka bisa memaklumi kemiskinan yang menimpa rakyatnya?
Matahari, Negara ini mendapat cahaya matahari sepanjang tahun yang berarti kita mendapat energy berlimpah, bisa sebagai pembangkit listrik maupun untuk energi bagi berlangsungnya kehidupan tumbuhan hijau. Banyak gunung berapi, dengan adanya aktifitas vulkanik kita bisa merasakan bagaimana biji bunga kamboja yang jatuh dari mahkota bunganya dapat tumbuh tanpa bantuan manusia, yang berarti sektor pangan seharusnya surplus, dengan harga yang masuk akal tentunya. Sumber Daya Alam, di dalam perut bumi di Indonesia ini tersimpan bahan-bahan mentah yang kaya-raya, mulai dari emas, minyak bumi, intan, dan tambang-tambang mineral lainnya—yang sayang sekali hanya dapat kita berikan kepada asing, dan yang paling lucu lagi, alasan penguasa memberikan SDA tersebut kepada pihak asing ialah karena kita tidak mampu mengolahnya. Lalu pertanyaannya, untuk apa Negara ini berhutang banyak-banyak jika infrastruktur pengolah SDA saja tidak punya? Dan untuk apa Universitas sekelas UGM, UI, ITB, dan yang lainnya jika masalah seperti itu saja tidak bisa diselesaikan?
Kemudian, hal yang paling lucu adalah ketika seorang penguasa masih sempat bersolek dan bergaya santun seperti orang yang tidak memiliki tanggung jawab apapun kepada rakyat yang ia perintah atau kuasai telah menderita karena kebijakannya.
Pada akhirnya jika mereka—yang memperoleh Toyota Crown Royal  Saloon—tidak bisa mengatasi masalah dibidang masing-masing, mereka dengan santai dan lucunya akan menyalahkan pihak-pihak yang sebetulnya tidak bertanggung jawab. Misalnya ketidak mampuan dalam mencukupi beras, gula, kedelai, minyak bumi, dan sebagainya, kemudian dikaitkan dengan perubahan iklim dan sebagainya. Yang paling parah adalah memaklumkan kemiskinan dan kelaparan dengan alasan masih Negara berkembang.
Bukankah dengan berbagai alasan, seorang sopir (bus, mobil, motor), nahkoda, pilot, sampai masinis pun akan diadili ketika terjadi sesuatu terjadi pada kendaraan yang ia kendalikan, walaupun dia tidak bersalah. Misalnya saja ada pengendara mobil yang sudah membawa kendaraannya dengan hati-hati dan mematuhi segala aturan lalu-lintas, tapi ada pengendara motor yang bermanuver asal-asalan sehingga ia terjatuh dan tanpa sengaja mobil itu menabrak pengendara motor tersebut sehingga meninggal. Sudah jelas, hal ini pengendara mobil tetap akan disalahkan. Lalu mengapa hukum seperti itu bisa menjerat orang yang bertanggung jawab dengan apa yang ia kendalikan, tapi tidak bisa menyentuh orang yang mengendalikan suatu Negara? Apalagi ia bukan raja, hanya seorang yang dipilih melalui pemilu. Lalu apa bedanya dengan monarki kalau penguasa tidak bisa dijatuhi hukuman? Dan bagaimana ia bisa mendapat hukuman jika tidak ada yang menuntut, bahkan tidak ada yang mengetahui kejahatan-kejahatannya? (maksud kejahatan di sini adalah penguasa tidak peduli terhadap rakyatnya, seperti membiarkan rakyatnya mati kelaparan, saling bermusuhan, terjadi kesenjangan social, dan sebagainya).
Dari beberapa hal tersebut, sudah jelas bagaimana seorang penguasa bisa melakukan pembunuhan dengan cara-cara yang lebih canggih dan sangat terencana. Lalu apakah dengan cara yang lebih canggih ini, manusia bisa melakukannya tanpa sama sekali mendapat hukuman? Saya rasa pembunuh seperti ini justru harus diprioritaskan. Tapi masalahnya, orang-orang seperti ini selain memperoleh kekuasaan, pada kenyataannya masalah seperti ini memang agak sulit dibuktikan karena banyak pihak yang terlibat.
Mungkin, hal yang membuat hal ini begitu sulit dilakukan adalah karena rakyat sendiri tidak peduli terhadap sesamanya. Rakyat harus mengerti hak dan kewajibannya dalam suatu pemerintahan. Dan rakyat harus memahami bagaimana seorang penguasa yang bersungguh-sungguh memimpin (memakmurkan) negaranya atau penguasa yang rela membunuh rakyatnya demi mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Jadi, yang perlu ditekankan adalah pemahaman terhadap “hak” dan “kewajiban” seorang warga Negara. Bukan hanya hak, tapi juga kewajiban, dan bukan hanya kewajiban, tapi juga hak…