Istilah nasionalisme tentu sudah tidak asing lagi bagi masyarakat kita. Istilah tersebut seringkali kita dengar terutama ketika menjelang peringatan hari pahlawan atau kemerdekaan Indonesia. Atau ketika ada pertandingan sepakbola yang melibatkan timnas Indonesia. Bahkan banyak diantara masyarakat kita tidak mau jika mereka disebut tidak nasionalis. Secara sederhana dan seperti telah kita diketahui bersama, istilah nasionalisme berarti semangat untuk mencintai bangsa dan Negara sendiri.
Lalu pertanyaannya, apakah sebagian besar rakyat Indonesia (terutama sekali pejabat Negara dan mahasiswa) sudah mencintai negaranya? Kalau benar, lalu mengapa setelah merdeka selama lebih dari 65 tahun bangsa ini masih menjadi bangsa yang masih ‘berkembang’, masih banyak rakyat yang miskin, mati kelaparan, dan tidak memiliki pekerjaan? Pada dasarnya, tingginya semangat nasionalisme penguasa tercermin dari tingkat kesejahteraan rakyatnya. Sehingga kita bisa melihat apakah sebagian besar masyarakat kita (penguasa dan kalangan terpelajar) sudah memahami dan menerapkan istilah nasionalisme––atau masih mementingkan kepentingan pribadi––dari tingkat kesejahteraan rakyatnya.
Kita juga harus memahami pula bahwa rakyat merupakan bagian terpenting dari suatu Negara, selain wilayah tentunya. Jadi jika rakyat adalah yang paling penting dari suatu negara, nasionalisme berarti cinta kepada rakyat. Bagi saya, tidak ada yang perlu dibanggakan dari suatu bangsa yang masih (maaf) ‘memelihara’ rakyat miskin, dan lebih parah lagi, memanfaatkan rakyat sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Bangga dengan kebobrokan? Hal itu tidak lebih dari nasionalisme semu, nasionalisme palsu.
NASIONALISME
Semangat nasionalisme muncul atau banyak dipopulerkan oleh beberapa tokoh pemimpin gerakan nasionalisme sekitar awal abad 20 M, terutama terjadi di negara-negara yang sedang mengalami kemunduran karena penjajahan pihak asing (Barat). Tapi pada kenyataannya, benih-benih awal dari ideologi ini sudah lama berkembang terutama oleh filsuf Jerman dan tokoh revolusioner Italia. Bahkan jauh sebelum itu.
Cikal-bakal gagasan mengenai nasionalisme sebenarnya bermula dari kritikan filsuf Jerman bernama Johann Gottfried von Herder (sekitar abad 18M) terhadap pandangan para filsuf “pencerahan” seperti Imanuel Kant. Mereka (para filsuf pencerahan) mengajarkan bahwa manusia yang beradab, pada dasarnya memiliki kaidah nalar yang sama di setiap saat, di semua tempat, sehingga jika manusia membiarkan diri mereka dibimbing oleh nalar, maka dengan sendirinya manusia akan bergerak ke arah seperangkat hukum dan nilai universal. Jadi menurut Kant, setiap manusia, di semua tempat, akan menghasilkan hukum dan nila-nilai universal yang sama, tanpa melihat perbedaan kebudayaan yang khas di setiap tempat (Ansary, Tamim. 2009).
Tapi Herder tidak setuju dengan apa yang disebut dengan nilai-nilai universal tersebut, dan mengatakan bahwa dunia ini terdiri dari berbagai entitas budaya, yang disebut volks atau rakyat. Masing-masing entitas ini memiliki esensi spiritual yang dimiliki secara umum oleh orang-orang tertentu. Kesamaan bahasa, tradisi, adat istiadat, dan sejarah menyatukan sekelompok orang bersama-sama sebagai sebuah volk. Menurutnya, kekelompokan tersebut bukan hanya sebuah kontrak sosial atau semacam kesepakatan di antara para anggotanya untuk bergabung. Dan bahwa bangsa-bangsa memiliki satu ketunggalan yang membuat mereka sama. Lebih jauh lagi, Herder juga berpendapat bahwa setiap bangsa tidak bisa dinilai siapa yang paling baik diantaranya, hanya saja mereka berbeda. Dia juga mengatakan bahwa satu bangsa tidak bisa diukur berdasarkan nilai-nilai bangsa lain (Ansary, Tamim. 2009).
Ide-ide Herder yang menjadi dasar ideologi nasionalisme ini kemudian sedikit dimodifikasi atau digeser maknanya oleh Johann Gottileb Ficthe. Gottileb Ficth setuju bahwa manusia mengelompok bersama-sama dan membentuk sebagai bangsa yang berbeda-beda, masing-masing diikat oleh semangat yang sama. Tapi Gottileb Ficth lebih menekankan bahwa sebagian volks/rakyat ada yang lebih unggul dari yang lain. Dan secara khusus menyatakan bahwa Jerman lebih unggul daripada Perancis (Ansary, Tamim. 2009). Inilah cikal-bakal ideologi nasionalisme ini, walaupun belum sampai pada ideology politik seperti yang dikemukakan Joseph Mazzini.
Ide-ide Herder yang menjadi dasar ideologi nasionalisme ini kemudian sedikit dimodifikasi atau digeser maknanya oleh Johann Gottileb Ficthe. Gottileb Ficth setuju bahwa manusia mengelompok bersama-sama dan membentuk sebagai bangsa yang berbeda-beda, masing-masing diikat oleh semangat yang sama. Tapi Gottileb Ficth lebih menekankan bahwa sebagian volks/rakyat ada yang lebih unggul dari yang lain. Dan secara khusus menyatakan bahwa Jerman lebih unggul daripada Perancis (Ansary, Tamim. 2009). Inilah cikal-bakal ideologi nasionalisme ini, walaupun belum sampai pada ideology politik seperti yang dikemukakan Joseph Mazzini.
Kemudian semangat nasionalisme ini berkembang dengan cepat sejalan dengan kejatuhan Napoleon Bonaparte pada 1870. Ditambah lagi Kanselir Prusia, Ottovon Bismarck yang baru saja membentuk satu bangsa dari banyak Negara Jerman kecil, memancing Napoleon III untuk menyatakan perang terhadap Bangsa Jerman, dan berhasil mengalahkan Perancis, bahkan merebut dua Provinsi perbatasan milik Perancis.
Lebih jauh lagi, seniman-seniman dan sejarawan Jerman mulai mencari sumber volksgiest Jerman untuk menyusun sebuah narasi mitologis yang melacak asal-usul Jerman ke bangsa Indo––Eropa kuno, suku Aryan (Arya) di pegunungan Kaukasus.
Sementara itu di Italia, ketika penguasa Austria menjadi penguasa asing di negara tersebut (Italia), Joseph Mazzini yang berpikir untuk meyelamatkan Italia dari penguasa asing itu kemudian menambahkan ide-ide yang telah diciptakan Hedder sehingga membentuk ideologi politik. Mazzini berpendapat bahwa setiap bangsa memiliki hak atas wilayahnya sendiri, hak untuk mendapatkan pemimpin dari kalangan sendiri, hak untuk menentukan perbatasan, hak untuk memperluas perbatasan sejauh sejauh yang diperlukan untuk mencakup semua orang yang terdiri dari bangsanya, dan hak untuk menuntaskan kedaulatan di dalam batas-batas tersebut. Dan suatu tindakan yang benar, alami, dan mulia bagi orang-orang dari suatu bangsa untuk hidup dalam satu negara yang tidak putus-putus secara geografis.
Nasionalisme Jerman dan Italia lahir dari kekalahan dan dendam, seperti halnya semangat nasionalisme Negara-Negara yang ingin bebas dari penjajahan bangsa Barat seperti India, Indonesia, Cina, dan sebagainya––walaupun Negara-negara yang disebut terakhir hanya mengambil konsep dari Negara-negara Eropa.
Hal yang diutarakan sebelumnya merupakan nasionalisme modern yang pertamakali dicetuskan oleh beberapa filsuf dan tokoh nasionalis. Tapi, jauh sebelum filsuf dan tokoh nasionalis tersebut mengemukakan pendapatnya tentang nasionalisme, dapat dipastikan sudah ada nasionelisme “kuno”. Hal ini karena nasionalisme merupakan bentuk adaptasi suatu kelompok manusia yang muncul karena naluri ingin mempertahankan diri, mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tumbuhnya ikatan ini.
Jadi nasionalisme “kuno” hanya menekankan pada bentuk adaptasi atau reaksi untuk mempertahankan kedaulatan kelompoknya dari ancaman luar/asing, sedangkan nasionelisme “modern” lebih dari itu, karena nasionalisme modern ini menekankan pada kebanggaan bangsanya daripada bangsa lain, sehingga ia berhak untuk mendapatkan pemimpin dari kalangan sendiri, berhak untuk menentukan perbatasan, berhak untuk memperluas perbatasan, berhak untuk memperluas perbatasan sejauh yang diperlukan untuk mencakup semua orang yang terdiri bangsanya, atau dengan kata lain berhak menentukan nasib bangsanya sendiri.
Jadi nasionalisme “kuno” hanya menekankan pada bentuk adaptasi atau reaksi untuk mempertahankan kedaulatan kelompoknya dari ancaman luar/asing, sedangkan nasionelisme “modern” lebih dari itu, karena nasionalisme modern ini menekankan pada kebanggaan bangsanya daripada bangsa lain, sehingga ia berhak untuk mendapatkan pemimpin dari kalangan sendiri, berhak untuk menentukan perbatasan, berhak untuk memperluas perbatasan, berhak untuk memperluas perbatasan sejauh yang diperlukan untuk mencakup semua orang yang terdiri bangsanya, atau dengan kata lain berhak menentukan nasib bangsanya sendiri.
TINGKAT NASIONALISME SUATU NEGARA/BANGSA TERCERMIN
DARI TINGKAT KESEJAHTERAAN RAKYATNYA
Diatas merupakan beberapa gambaran mengenai definisi nasionalisme, tapi tetap saja intinya adalah bahwa nasionalisme merupakan semangat untuk mencintai bangsanya. Tapi apakah semangat nasionalisme suatu bangsa tidak ada indikatornya sehingga kita (para pejabat/penguasa dan mahasiswa sebagai kaum cerdik cendikia) dapat mengklaim semangat ini seenaknya dengan tanpa melihat kondisi bangsanya???
Beberapa waktu lalu, walaupun hanya sementara, seakan-akan kita semua terbius dengan diselenggarakannya piala AFF. Bagaimana tidak, Timnas Indonesia berhasil maju sampai babak final, walaupun harus puas menjadi juara dua setelah dikalahkan “musuh bebuyutan” kita. Tak ayal beberapa masyarakat kita merasa bangga melihat prestasi timnas Indonesia maju sampai babak Final Piala AFF. Bahkan dibeberapa pertandingan yang melibatkan Indonesia itu dilihat langsung oleh presiden. Beberapa pejabat Negara yang tidak bisa datang ke TKP pun juga menyempatkan diri untuk melihat pertandingan tersebut di TV (nonton bareng). Ketika itu, semangat nasionalisme bangsa ini begitu meluap-luap. Banyak sekali warga, baik kalangan terpelajar sampai pejabat sangat antusias dan bersorak-sorak mendukung timnas Indonesia. Tapi, bukan berarti semua warga Indonesia melakukan itu, ada banyak juga bapak-bapak atau ibu-ibu sedang mati-matian mencari nafkah untuk anak-anaknya hanya untuk bertahan hidup.
Ya, saya tahu bahwa menjadi supporter atau mendukung timnas yang sedang melawan tim dari bangsa lain merupakan salah satu wujud semangat nasionalisme. Secara “kasar” mereka terlihat sangat nasionalis. Tapi benarkah demikian?
Apakah kita harus percaya kepada seseorang yang mengaku bahwa dirinya seorang gamer Point Blank yang hebat jika dalam setiap pertandingan saja dia berada di posisi terakhir karena tidak berhasil menembak satupun musuhnya?
Apakah kita bisa percaya kepada seseorang yang mengaku bahwa dirinya sangat jago dalam bidang hardware computer jika melepas dan memasang heatsink fan (HSF) CPU saja belum pernah dilakukannya?
Apakah kita bisa percaya kepada seseorang yang mengaku bahwa dirinya adalah seorang yang baik jika terhadap binatang saja tidak punya belas kasihan?
Apakah saya bisa dikatakan seorang pelajar yang baik dan bertanggung jawab jika ilmu yang telah saya dapatkan hanya untuk diri sendiri?
Apakah saya bisa dikatakan memiliki semangat nasionalis jika saya hanya mendukung Timnas, tanpa memperhatikan kondisi Negara yang sesungguhnya?
Lalu, apakah kita bisa percaya kepada seorang pemimpin bahwa dirinya adalah seorang yang nasionalis, cinta terhadap bangsanya jika rakyatnya saja masih banyak yang mati kelaparan?
Jadi, seseorang dapat dikatakan seorang gamer Point Blank yang hebat jika setidaknya telah menghabisi setengah musuhnya. Seseorang dapat dikatakan seorang yang jago hardware computer jika paling tidak ia bisa merakit beberapa komponen PC sehingga menjadi kesatuan sebuah PC. Seseorang dapat dikatakan seorang yang baik jika ia memiliki belas kasihan terhadap binatang. Seseorang dapat dikatakan pelajar yang baik jika ilmu yang telah ia dapatkan digunakan untuk kepentingan-kepentingan orang lain, bukan hanya untuk diri sendiri. Dan seseorang dapat dikatakan mencintai negaranya jika telah meluruskan kebijakan yang tidak tepat bagi negaranya, bukan hanya menjadi supporter pertandingan sepakbola.
Demikian juga dengan pemimpin, dapat dikatakan memiliki semangat nasionalisme atau tidak bisa dilihat dari tingkat kesejahteraan rakyatnya. Terlebih lagi jika Negara yang bersangkutan memiliki SDA yang sangat melimpah. Jadi tidak pantas rasanya seorang yang memiliki jabatan atau seorang yang sekolah tinggi berbicara nasionalisme ketika kondisi negaranya sedang dalam keadaan kacau.... Hal itu tidak lebih dari nasionelisme palsu, bangga terhadap sesuatu yang kita tahu bahwa hal itu sama sekali tidak membuat bangga...
No comments:
Post a Comment